
Karawang, Karawanghitz — Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, muncul pertanyaan penting: masihkah ideologi memiliki tempat dalam benak anak muda zaman sekarang? Dalam era digital yang serba cepat dan pragmatis, nilai-nilai ideologis seperti nasionalisme, sosialisme, hingga religiusitas kerap kali dipertanyakan relevansinya oleh generasi muda yang lebih akrab dengan algoritma daripada manifesto.
Perkembangan internet dan media sosial telah membawa perubahan besar dalam cara anak muda memandang dunia, termasuk bagaimana mereka memahami dan menyerap nilai-nilai pandangan hidup.
“Anak muda hari ini tidak lagi mengenal pandangan hidup dari buku atau ceramah, tapi dari potongan video, meme, dan thread di media sosial,” ujar Nina Kusumawati, S.Pt., M.Si., Dosen Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).
Menurut Nina, digitalisasi membuat informasi lebih mudah diakses, namun juga menimbulkan tantangan tersendiri. “Ideologi kini dikemas dalam bentuk yang lebih ringan dan cepat konsumsi. Ini membuat pemahaman terhadap ideologi bisa menjadi dangkal jika tidak diimbangi dengan edukasi yang tepat,” jelasnya.
Ideologi dan Identitas Diri Anak Muda
Bagi sebagian anak muda, pandangan hidup tetap menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas diri. Ini terlihat dari maraknya komunitas atau gerakan sosial digital yang memperjuangkan isu-isu seperti keadilan gender, lingkungan, hingga demokrasi.
Rangga Pratama, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi, menilai pandangan hidup tetap relevan.
“Ideologi bukan soal mengikuti arus masa lalu, tapi bagaimana kita menyesuaikan nilai-nilai dasar itu untuk menjawab tantangan zaman sekarang. Kami percaya bahwa kesadaran ideologis bisa menjadi landasan gerakan perubahan,” ujarnya.
Rangga mencontohkan bagaimana komunitasnya menggunakan media sosial sebagai alat kampanye untuk isu-isu sosial. “Kami menyuarakan keadilan sosial, transparansi pemerintah, dan perlindungan lingkungan lewat konten digital. Itu semua berakar dari pandangan hidup yang kami yakini,” tambahnya.
Fenomena Apatisme dan Krisis Ideologi
Meski begitu, tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak anak muda yang bersikap apatis terhadap urusan pandangan hidup. Mereka lebih memilih untuk fokus pada isu-isu personal seperti karier, gaya hidup, atau hiburan digital.
“Ada kecenderungan krisis pandangan hidup di kalangan anak muda. Mereka merasa ideologi itu kaku, berat, dan tidak nyambung dengan realitas mereka,” kata Devie Rahmawati, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia.
Menurut Devie, ini tidak sepenuhnya salah anak muda, tetapi lebih kepada kegagalan institusi dalam menyampaikan nilai pandangan hidup secara kontekstual dan relevan.
“Kita tidak bisa menyampaikan pandangan hidup dengan cara zaman dulu. Harus ada pendekatan baru yang kreatif dan berbasis digital, agar anak muda bisa merasa terhubung dengan nilai-nilai tersebut,” tegasnya.
Strategi Baru Menyemai Ideologi
Di era digital, berbagai pihak mulai mencoba pendekatan baru dalam menyebarkan nilai-nilai ideologis kepada generasi muda. Salah satunya dengan mengintegrasikan edukasi pandangan hidup dalam bentuk konten digital yang menarik dan interaktif.
Pemerintah, misalnya, mulai menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan kebangsaan melalui video animasi, podcast, hingga kampanye di platform TikTok.
Dr. Rima Agristina, S.H., S.E., M.M.,, perwakilan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menjelaskan bahwa pendekatan ini dilakukan agar pesan ideologi tidak terkesan membosankan atau menggurui.
“Kami mencoba masuk ke ruang digital anak muda dengan bahasa yang mereka pahami. Tujuannya bukan sekadar mengenalkan Pancasila, tapi membuat mereka merasa bahwa nilai-nilai itu hidup dalam keseharian mereka,” ujar Dr. Rima.
Peran Kampus dan Komunitas
Perguruan tinggi juga berperan penting dalam menumbuhkan kesadaran pandangan hidup mahasiswa. UBSI Karawang, misalnya, rutin mengadakan diskusi terbuka, seminar kebangsaan, dan pelatihan kepemimpinan yang berbasis nilai-nilai Pancasila dan demokrasi.
“Kami ingin mahasiswa tidak hanya cakap secara akademik, tapi juga memiliki pijakan nilai yang kuat untuk menghadapi dunia kerja dan masyarakat,” kata Adi Supriyatna, M.Kom., Wakil Rektor II Bidang Non Akademik.
Di sisi lain, komunitas-komunitas pemuda lokal juga turut ambil bagian. Mereka menjadi ruang alternatif bagi anak muda untuk belajar tentang landasan berpikir dengan cara yang lebih santai, relevan, dan inklusif.
Ideologi Tidak Mati, Tapi Bertransformasi
Meskipun banyak tantangan, ideologi masih memiliki tempat dalam kehidupan anak muda. Namun bentuk dan cara penyampaiannya harus terus beradaptasi dengan zaman. Di era digital ini, pandangan hidup bukan lagi sekadar ajaran, tetapi nilai yang harus dihidupkan dan dimaknai ulang dalam konteks yang baru.
Seperti yang disampaikan Rangga Pratama, “Generasi kami bukan anti-ideologi, kami hanya ingin pandangan hidup yang memberi jawaban nyata atas persoalan kami hari ini.”