Teknologi

Literasi Digital Gen Z Terancam: Lindungi Data Pribadi Sebelum Dibobol

×

Literasi Digital Gen Z Terancam: Lindungi Data Pribadi Sebelum Dibobol

Sebarkan artikel ini
Digital
Sumber Gambar: Oliver Wyman Forum

Karawang, Karawanghitz — Generasi Z dikenal sebagai digital natives, namun studi dari Putri Limilia dkk. (2022) mengungkapkan hasil yang mengejutkan: “most respondents have a low digital literacy score, particularly in participation and collaboration skills”. Artinya, meski mahir menggunakan internet dan media sosial, mereka masih belum memiliki kemampuan kritis dan partisipatif dalam ranah digital.

Risiko ini diperparah oleh tingginya aktivitas Gen Z menggunakan platform e‑commerce. Sebuah studi di Thailand menemukan bahwa literasi teknologi Gen Z yang baik terhadap keamanan data meningkatkan kepercayaan mereka pada platform e‑commerce—dengan korelasi hingga 0,775, di mana aspek “digital safety” berperan paling kuat. Namun, jika aspek ini lemah, risiko penyalahgunaan data meningkat, termasuk pencurian informasi sensitif dan manipulasi.

Proyek penelitian internasional menunjukkan bahwa digital natives sebenarnya cukup peduli terhadap privasi. Misalnya, mayoritas Gen Z menggunakan browser anonim, menghapus cookie, dan mengenkripsi komunikasi lebih intensif dibandingkan generasi sebelumnya . Namun, paradoksnya, mereka juga sering membagikan data pribadi secara terbuka di media sosial, demi personalisasi yang lebih baik—fenomena yang disebut “data privacy paradox”.

Literasi Digital: Apa itu dan Mengapa Penting?

Literasi teknologi mencakup kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, membuat, dan berkomunikasi informasi menggunakan teknologi—definisi yang diperlukan Gen Z agar tidak “hanya swiping in the dark”, melainkan memahami konsekuensi.

Menurut American Library Association, kemampuan ini termasuk literasi informasi, konten, keamanan, hingga etika digital. Tanpa literasi yang holistik, Gen Z terpapar misinformasi, hoaks, eksposur berlebihan toko data, hingga kejahatan siber.

Studi dari Limilia dan rekan (2022) menekankan rendahnya kemampuan literasi kritis, terutama dalam kolaborasi digital. Alhasil, Gen Z masih sulit membedakan konten bermutu dan bersedia berinteraksi secara produktif di platform online.

Tantangan dan Dampak di Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan infrastruktur dan pendidikan yang belum cukup optimal dalam mendorong literasi digital. Data dari ResearchGate (Afrina et al., 2024) menunjukkan faktor utama kegagalan adalah kurangnya infrastruktur, perhatian pendidikan, dan kesadaran etika sosial di media sosial .

Saat pandemi COVID‑19, Gen Z banyak beraktivitas daring—belajar, bekerja, berinteraksi. Namun penelitian di Semarang menemukan bahwa banyak dari mereka belum memahami bagaimana melindungi data pribadi dalam konteks pembelajaran digital .

Solusi: Pendidikan dan Kampanye Literasi Digital

1. Integrasi Kurikulum di Sekolah

Perlu memasukkan modul literasi digital dan privasi di kurikulum formal—dengan materi tentang enkripsi, pengelolaan kata sandi, dan pengelolaan data pribadi.

2. Pelatihan dan Sertifikasi Keamanan Digital

Pelatihan wajib bagi pelajar dan mahasiswa—seperti anti‑phishing, pengamanan akun, dan pengaturan privasi aplikasi—dapat meningkatkan kesadaran dan keterampilan guna menghadapi ancaman siber.

3. Peran Komunitas dan Orang Tua

Pendidikan tidak cukup di sekolah. Orang tua dan komunitas digital perlu dilibatkan, dengan kampanye “digital parenting” dan penyebaran pedoman praktis untuk melindungi data anak-anak.

Suara Para Pakar

Dr. Siti Maisuroh (Universitas Nurul Jadid) menyatakan dalam penelitiannya bahwa integrasi “social media, learning technology, and collaborative approaches… create a more relevant and adaptive learning environment”.

Sementara, Putri Limilia menegaskan bahwa “even generation Z is fluent with the technologies, they still lack in digital literacy”—menunjukkan bahwa kecakapan operasional saja tidak cukup tanpa literasi kritis.

Meskipun Generasi Z tumbuh dalam ekosistem digital dan secara teknis mahir, literasi digital mereka—terutama dalam aspek kritis, kolaborasi, dan keamanan data—masih kurang. Fenomena “data privacy paradox” memperlihatkan bahwa perhatian terhadap privasi tidak seimbang dengan tindakan mereka.

Untuk melindungi generasi ini dari risiko nyata kebocoran data dan kejahatan siber, diperlukan upaya terpadu: penguatan kurikulum, pelatihan keamanan digital, dan dukungan lingkungan sosial. Kebijakan pemerintah dan kampanye kesadaran kini mesti menempatkan literasi digital sebagai prioritas pendidikan nasional.

Data pribadi bukan lagi sekadar barang—melainkan aset krusial yang harus dijaga. Literasi digital bagi Gen Z bukan opsi, melainkan kebutuhan mendesak.