Pendidikan

Satu Hati, Seribu Arti: Mahasiswa UBSI Karawang Turun Langsung Dukung Pendidikan Inklusif

×

Satu Hati, Seribu Arti: Mahasiswa UBSI Karawang Turun Langsung Dukung Pendidikan Inklusif

Sebarkan artikel ini

Karawang, Karawanghitz – Di tengah arus deras pragmatisme dan hedonisme akademik yang sering kali menjauhkan kampus dari realita sosial, sekelompok mahasiswa UBSI Karawang membuktikan bahwa kampus bukan menara gading—melainkan rumah perjuangan. Dengan semangat kemanusiaan dan idealisme yang menyala, mahasiswa Program Studi Sistem Informasi UBSI Karawang melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di SLB Negeri 1 Karawang Barat, 7–8 Mei 2025, dalam tajuk “Satu Hati Mahasiswa UBSI Karawang Bersama SLB Negeri 1 Karawang Barat Membangun Generasi Peduli dan Berempati.”

Kegiatan ini bukan sekadar formalitas akademik. Ini adalah bentuk keberpihakan nyata terhadap pendidikan inklusif—sebuah sistem yang masih kerap dipinggirkan dalam wacana arus utama. Dengan pendekatan Project-Based Learning yang diintegrasikan ke dalam pendidikan agama, mahasiswa diajak keluar dari ruang kelas untuk menyatu dengan denyut kehidupan, menanamkan nilai iman, akhlak mulia, dan tanggung jawab sosial secara langsung di tengah masyarakat.

Pendidikan yang Menghidupkan Nurani

Pagi itu, senam bersama menjadi pintu pembuka interaksi yang hangat antara mahasiswa dan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Aktivitas yang sederhana, namun sarat makna: bahwa inklusi bukan soal belas kasih, melainkan soal keadilan. Selanjutnya, mahasiswa menyampaikan materi bertema nilai-nilai empati dan kepedulian sosial, disampaikan secara menyenangkan agar mudah diserap dan dirasakan langsung oleh para siswa.

Kegiatan seperti mewarnai dan hand painting menjadi medium kreatif yang menjembatani dunia mahasiswa dengan dunia anak-anak SLB. Di balik tawa dan warna, ada proses penyatuan jiwa. Mahasiswa belajar bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu, tapi transformasi hati.

Suara dari Hati Mahasiswa

Juliana, salah satu panitia kegiatan, menyampaikan dengan mata yang berbinar, “Ini bukan hanya program kampus, ini adalah perjalanan batin. Anak-anak SLB mengajarkan kami tentang arti empati yang sesungguhnya. Mereka tidak meminta dikasihani, mereka hanya butuh dipahami dan diterima.”

Pernyataan Juliana mewakili suara nurani kolektif mahasiswa yang mulai menyadari bahwa pendidikan adalah soal keberpihakan, bukan sekadar pencapaian nilai akademik.

Simbol Kepedulian, Tanda Kolaborasi

Kegiatan ini ditutup dengan pemberian cinderamata, alat tulis, dan bingkisan sederhana. Namun, yang jauh lebih penting dari semua itu adalah pesan yang dibawa: bahwa mahasiswa hadir bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai sahabat dalam perjuangan. Pihak sekolah menyampaikan apresiasi yang tulus, berharap sinergi seperti ini dapat menjadi budaya baru dalam dunia pendidikan.

Menyalakan Lentera Perubahan

Kegiatan ini membuktikan bahwa ketika mahasiswa turun ke lapangan, bukan hanya mereka yang belajar, tapi juga memberi pelajaran. Mereka menyaksikan langsung betapa luar biasanya dedikasi para guru SLB yang setiap hari menjadi pejuang senyap dalam dunia pendidikan inklusif.

Baca Juga: SLB Cahaya Quran akan Gelar Santunan Masal kepada 250 Mustahik  Tuna Netra dan Difabel

Kita, sebagai bagian dari gerakan perubahan, harus terus mendorong kegiatan serupa agar menjadi tradisi baru dalam dunia pendidikan tinggi—tradisi yang membumi, menyentuh, dan membangkitkan semangat solidaritas. Karena pendidikan sejati bukan yang menjauhkan kita dari realita, tapi yang membawa kita menyelami makna kemanusiaan yang hakiki.

Salam Perjuangan.
Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat! Hidup Pendidikan yang Berkeadilan!